Wednesday 7 December 2011

Saat Tepat bagi Si Pengagum Rahasia

Tak ada kata yang mampu menggambarkan perasaanku saat kita pertama kali bertemu. Kala itu kita berpapasan di depan ruang dosen wali untuk menghadiri perwalian awal semester. Mataku yang sibuk mengamati butir-butir mata kuliah di lembar perwalian membuatku tak sadar hampir menabrakmu yang juga sedang asyik bercanda dengan teman-temanmu. Kedua mata kita pun beradu. Sosokmu yang tegap, berkulit putih, berhidung mancung, dan berambut ikal itu seketika langsung menyihirku. Rasanya sekujur tubuhku lemas tak berdaya saat kau menatapku dan berkata, “maaf”, sambil tersenyum padaku. Senyuman itulah yang membuatku tak bisa tidur malam itu karena terus membayangkanmu. Hingga kuputuskan keesokan harinya untuk mencari tahu identitasmu. Dari teman-temanku yang teman-temannya mengenalmu, aku tahu. Namamu Nicholas Kristanto Utomo namun kau biasa dipanggil Niko, kau anak pertama dari dua bersaudara. Adikmu laki-laki berusia 15 tahun. Keluargamu hidup sederhana, ayahmu adalah seorang manajer sebuah supermarket besar yang terletak di tengah kota dan kau sedang tidak memiliki pasangan. Fakta terakhir itulah yang paling penting buatku, hingga aku dapat memutuskan untuk mulai mendekatimu. Persaingan ketat dengan teman-temanku, kakak angkatan, hingga mahasiswi jurusan lain tidak aku perdulikan. Bagiku, kesempatan menemukan pria sepertimu tidak datang dua kali. Sudah pasti aku tak akan menyia-nyiakannya.
Sepertinya bukan hanya fisikmu saja yang sempurna buatku, namun kepribadianmu juga memikatku. Dari hasil pengamatanku dan dibantu para sahabatku, aku mengenalmu sebagai pria yang ramah, suka bercanda dan terkadang usil, namun di balik itu, kau mahasiswa yang cerdas dan kritis. Sayang, di semester pertama itu, tidak satupun jadwal mata kuliahku yang mengijinkanku untuk dapat mengenalmu lebih jauh. Maklum, nomor induk mahasiswa kita jauh berbeda. Sahabat-sahabatku sudah berulang kali menyuruhku menjadikanmu teman di akun Facebook, atau kontak di BlackBerry. Tentu saja, aku tahu jelas akun facebookmu, nomor handphonemu, twittermu, hingga pin BlackBerrymu. Namun, aku hanya berani menyimpannya. Aku takut kau menganggapku sebagai wanita yang agresif karena memulai duluan. Entahlah, mungkin alasanku memang tidak masuk akal, tetapi itulah yang kurasakan. Aku takut. Pernah suatu ketika aku melihatmu makan di kantin bersama teman-temanmu dan para mahasiswi yang mencoba sok dekat denganmu. Mataku hampir tak pernah lepas darimu, sampai-sampai soto ayam yang kubeli menjadi dingin dan tidak enak lagi untuk dimakan. Mungkin sejak saat itu, setiap aku berada di kantin, mataku selalu bergerilya untuk mencari sosokmu.
Di semester yang kedua, aku mulai berusaha untuk sedikit lebih berani, aku mendaftar kelas yang sama denganmu. Harapanku kita bisa sekelas dan paling tidak kita bisa berkenalan terlebih dahulu. Rupanya harapan tinggal harapan, karena kurang teliti dan terlalu bersemangat sekelas denganmu, beberapa jadwal kuliahku bentrok, sehingga kelasku pun ditolak. Tetapi, aku pantang menyerah. Ketika aku mendengar kabar bahwa kau mendaftar suatu kepanitiaan di kampus, aku pun ikut mendaftar. Entah karena penampilanku yang kurang meyakinkan atau pengalamanku yang kurang memadai, aku ditolak. Aku benar-benar sebal dan benci dengan panitia yang menolakku. Aku sempat putus asa dan berpikir bahwa mungkin memang kita tidak berjodoh. Maka, kujalani sisa semester dua itu dengan penuh rasa kecewa.
Semangatku menjalani perkuliahan bangkit lagi di semester tiga. Saat itu, siapa sangka ternyata beberapa pilihan kelas kita sama. Tiga di antara delapan mata kuliah kita berada di kelas yang sama. Aku sempat tak percaya. Mungkin memang benar apa kata orang, cinta itu butuh proses dan tidak perlu dipaksakan. Meski begitu, berada di kelas yang sama denganmu ternyata justru membuatku semakin pemalu. Bibirku bergetar dan lidahku kelu untuk sekedar menyapamu. Apalagi, dua di antara tiga mata kuliah itu merupakan mata kuliah umum yang satu kelas terdiri dari 60 orang. Alhasil, tak banyak kesempatanku untuk mengajakmu berbicara. Aku saja tak yakin kau mengingat namaku di antara banyaknya nama-nama mahasiswi yang jauh lebih indah daripada namaku. Sia-sialah tiga kelas bersama kita yang dulu aku banggakan karena sampai di akhir semester pun aku hanya dapat memandangimu dari jauh.
Saat semester empat kau buat hatiku hancur karena kau mulai berpacaran dengan salah seorang kakak angkatan yang terkenal cantik dan merupakan model sebuah majalah. Para penggemarmu yang dulu sama gigihnya denganku, mulai mundur teratur satu persatu. Namun, tidak demikian denganku. Aku merasa Kak Sherryl tidak pantas mendapatkanmu. Sudah banyak gosip beredar tentangnya yang sering berselingkuh dengan para model pria di tempat agensinya. Aku tak rela wanita seperti itu menjadi kekasihmu. Setiap malam aku berdoa agar kau putus dengannya, sampai akhirnya seorang sahabatku menegurku dan berkata,” seandainya kau jadi pacar Niko, kau juga tak mau penggemar Niko mendoakanmu putus dengannya kan?” Maka kuhentikan kebiasaan burukku itu dan di semester itu aku mencoba menyibukkan diri dengan aktivitas di gereja dan mengikuti aktivitas organisasi di kampus. Semua itu kulakukan untuk melupakanmu dan membiarkanmu bahagia dengan pilihanmu sendiri.
            Berbulan-bulan sudah aku mencoba melupakanmu, hingga di semester lima aku tahu usaha itu sia-sia belaka. Hatiku terasa terbakar saat melihatmu jalan bermesraan dengan kekasihmu, kau terlihat sangat menyayanginya dan tidak peduli tentang semua gosip buruk tentangnya. Berulang kali aku membayangkan seandainya aku yang menjadi kekasihmu. Tetapi, di balik itu, aku tahu, aku harus melanjutkan hidupku dan tidak terus-terusan memikirkanmu. Beberapa kali aku mencoba dekat dengan pria lain, namun entah mengapa wajahmulah yang selalu hadir bahkan di saat aku sedang bersama dengan pria lain.
            Aku mendengar kabar kalau kau telah berpisah dari kekasihmu di awal semester enam. Kabarnya, kekasihmu itu selingkuh dengan model pria yang sedang naik daun. Ugh, seandainya kau mau dengar apa kata teman-temanmu yang sudah memperingatkanmu akan gosip itu. Kau terlihat sangat sedih dan terpukul setelah berpisah dari kekasihmu. Statusmu di facebook yang kutahu dari temanku, mengisyaratkan bahwa kau ingin sendiri dulu dan fokus pada kuliahmu. Meski merasa harapan tinggiku dihempaskan kembali, namun aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku menghargai keputusanmu. Maka, akupun melakukan hal yang sama. Kucurahkan tenaga dan pikiranku untuk mengurusi masalah tugas-tugas kuliah yang menumpuk dan mencari tempat magang yang berkualitas. Apalagi, kemudian di semester tujuh, orang tua mulai mendesakku untuk cepat lulus dan membantu usaha ayahku. Maka, sembari magang di semester tujuh, aku juga mulai merencanakan skripsiku. Terkadang, bayang wajahmu masih saja menggangguku di sela-sela aku melakoni kesibukanku. Aku sempat kesal pada diriku sendiri,  mengapa begitu sulitnya aku melupakanmu? Pertanyaan itulah yang belum dapat kujawab hingga kini.
            Setelah menyelesaikan skripsi di semester delapan dengan penuh keringat dicampur stres yang berkepanjangan, akhirnya aku dinyatakan lulus. Beban berat rasanya terangkat dari pundakku. Aku merasa sangat lega karena dapat menyelesaikan kuliahku tepat waktu. Kupeluk orang tua dan sahabat-sahabatku dengan penuh rasa haru saat wisuda. Malam itu juga, kuputuskan aku akan membuka lembaran baru di dunia kerja nanti. Aku berjanji pada diriku sendiri akan berhenti memikirkan dirimu dan siapa tahu, akan kutemukan pria yang lebih baik darimu. Maka, disinilah aku sekarang, mengenakan gaun panjang berwarna hijau tosca dengan model bustier dan high heels berwarna senada, aku duduk di antara ratusan wisudawan dari universitasku di acara perayaan kelulusan. Aku sudah berdandan secantik mungkin, bahkan sahabat-sahabatku terkejut melihat penampilanku dan memujiku terlihat cantik. Aku puas sekali, mungkin disini aku akan menemukan jodohku, pikirku dalam hati, sambil tersenyum-senyum sendiri. “Permisi, kursi ini kosong?” Jantungku terasa mau copot saat aku menyadari kaulah yang duduk di sampingku. Kau benar-benar terlihat tampan dengan tuksedo hitam itu. Oh Tuhan, setelah sekian lama aku menunggu, mungkinkah ini waktu yang Kau anggap tepat untukku?

No comments:

Post a Comment