Wednesday 7 December 2011

Pembahasan Pemilu dan Media Massa

Studi-studi tentang pengaruh media dalam membentuk opini publik menjelang pemilihan umum, telah banyak dilakukan oleh para ahli komunikasi, terutama dalam kajiannya tentang agenda setting theory dan spiral of silence theory. Pada pemilihan umum presiden di Amerika Serikat tahun 1960, Theodore White, seorang analis politik menuliskan tentang peran media dalam membentuk kampanye pemilihan umum. White mengatakan bahwa kekuatan pers di Amerika Serikat saat itu sangat besar. Media menyusun agenda diskusi publik dan menentukan apa yang akan dibicarakan dan dipikirkan oleh publik (Griffin, 2004: 391).
Pada tahun 1968, McCombs dan Shaw pertama kali mencoba menguji teori penyusunan agenda (agenda setting theory), melalui sebuah studi tentang pemilihan umum presiden Amerika Serikat antara Richard Nixon dan Hubert Humphrey di Chapel Hill. Dari hasil penelitian tersebut, mereka menemukan kecocokan antara agenda media dengan agenda publik (pemilih). Agenda media diukur dengan posisi dan panjang berita tentang kampanye politik, hasil polling popularitas, dan kepribadian masing-masing kandidat. Sedangkan agenda publik diukur dengan menanyakan kepada masing-masing pemilih tentang isu apa yang menurut mereka paling penting dalam kampanye politik masing-masing kandidat. Hasilnya, McCombs dan Shaw menemukan bahwa ada lima isu yang sama-sama dianggap penting oleh media dan oleh pemilih.  Untuk mendukung hasil studi ini, McCombs kembali melakukan survei saat kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 1976 yang akhirnya dimenangkan oleh Jimmy Carter. McCombs melakukan survei kepada calon pemilih di 15 lokasi yang berbeda dan memonitor pemberitaan tentang pemilihan umum di tiga stasiun televisi utama dan di surat kabar lokal. Hasil studi ini menunjukkan bahwa agenda publik bergantung pada agenda media selama empat hingga enam minggu pertama masa kampanye. Namun, pada akhirnya, hasil pemilihan menunjukkan bahwa prioritas media jugalah yang menjadi prioritas pemilih (Griffin, 2004: 393).
Penelitian tentang penyusunan agenda pada pemilihan umum juga pernah dilakukan oleh Karen Siune dan Ole Borre di Denmark. Mereka mengamati siaran politik dan radio di televisi yang disiarkan pada saat masa kampanye pemilihan umum. Siaran politik tersebut terdiri dari program-program yang dirancang oleh partai politik, program dimana kandidat ditanyai oleh jurnalis dan masyarakat, dan program debat. Progam-program ini kemudian direkam dan dianalisis dengan menghitung jumlah pertanyaan yang berkaitan seputar isu dalam kampanye. Setelah itu, sebanyak 1300 pemilih diwawancari pada waktu yang berbeda selama kampanye untuk mengetahui agenda publik. Hasilnya, Siune dan Borre mendapati bahwa ada pengaruh persuasif yang berasal dari program-program siaran tersebut (Littlejohn 2008: 417).
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Pemilihan umum di Indonesia terakhir diadakan pada tahun 2009 dan baru akan diadakan lagi pada tahun 2014. Namun, masing-masing partai politik terlihat mulai membangun kekuatan politiknya dari sekarang. Termasuk dengan berkoalisi dan menentukan siapa calon presiden yang akan mereka usung pada pemilihan umum mendatang.
Sesuai UU No 23 Tahun 2003 yang mengatur tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden, Indonesia memang memiliki ketetapan electoral threshold, yaitu bahwa dukungan minimal yang diperlukan oleh pasangan calon adalah 5% suara sah pada pemilihan umum anggota DPR atau 3% jumlah kursi di DPR. Karena itulah, partai-partai politik yang tidak mencapai batas suara sah sesuai ketentuan dapat berkoalisi dengan partai lain (Budiardjo, 2010: 483).
Menurut sejarah pemilihan umum di Indonesia (Budiardjo, 2010: 485), tahun 2004 merupakan tahun yang bersejarah bagi kehidupan demokrasi di Indonesia karena di tahun inilah pertama kali diadakan pemilihan langsung terhadap presiden dan wakil presiden sesuai UU No. 23 Tahun 2003. Tidak hanya itu, di tahun 2004, rakyat juga dapat memilih secara langsung anggota legislatif, sekaligus memilih anggota DPD berdasarkan partai mereka, sesuai dengan UU No 12 Tahun 2003.
Sementara itu, untuk mempersiapkan pemilihan umum tahun 2014, Partai Demokrat yang pada pemilihan umum tahun lalu mencapai suara sah terbanyak, merupakan salah satu partai yang sedang sibuk mempersiapkan kaderisasi calon presiden yang akan diusung pada pemilu mendatang, hal ini karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berasal dari partai ini sudah tidak bisa lagi dicalonkan menjadi presiden karena telah menduduki jabatan presiden selama dua periode. Karena itulah, beberapa media massa beberapa waktu lalu sempat memunculkan isu tentang nama-nama calon presiden yang akan dicalonkan Partai Demokrat di pemilihan umum 2014 yang akan datang, seperti Ani Yudhoyono, sang ibu negara, Edhie Baskoro Yudhoyono, putra Presiden SBY, hingga Anas Urbaningrum yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Demikian juga dengan Partai PDI Perjuangan yang identik dengan sosok Megawati Soekarnoputri. Meski gagal menjadi presiden, namun Mega, maupun Partai PDIP sendiri telah memiliki pendukung fanatik yang jumlahnya tidak sedikit. Walaupun belum ada kabar resmi dari kubu partai yang mengusung warna dominan merah ini, namun belakangan santer terdengar di media bahwa usia Mega yang sudah tidak muda lagi menjadi bahan pertimbangan bahwa Mega kemungkinan tidak akan mencalonkan diri sebagai calon presiden di pemilihan umum mendatang. Sebagai gantinya, Mega disebut-sebut sedang mempersiapkan putrinya, Puan Maharani untuk dicalonkan sebagai presiden di pemilihan umum di tahun 2014 nanti.

 Berbicara tentang calon pemimpin baru, media juga beberapa kali mencantumkan hasil polling dari lembaga survei terkemuka mengenai popularitas beberapa calon presiden, termasuk tokoh-tokoh yang diprediksi akan maju ke pemilihan umum tahun 2014. Salah satu nama yang sering muncul dalam hasil polling itu ialah nama Aburizal Bakrie. Nama Bakrie memang sudah tidak asing lagi dalam bidang politik dan pemerintahan Indonesia. Sebelum menjadi ketua umum partai Golkar, Bakrie yang juga berprofesi sebagai pemilik usaha Bakrie Group itu pernah menjabat sebagai Menko Perekonomian dan Menkokesra di Kabinet Indonesia Bersatu. Meski popularitasnya sempat anjlok gara-gara masalah lumpur Lapindo, namun Bakrie yang pernah dinobatkan sebagai salah satu pria terkaya di Indonesia tersebut tetap mampu sukses berkiprah di dunia politik maupun sebagai pengusaha.
Selain sebagai politikus, Bakrie juga dikenal sebagai salah satu pemilik media besar di Indonesia. Bakrie diketahui memiliki stasiun televisi TVOne, Antv, dan beberapa saham televisi lokal di Surabaya, yaitu ArekTV. Selain nama Aburizal Bakrie, publik juga mengenal nama Surya Paloh sebagai pemilik media yang juga memiliki aktivitas di bidang politik dan sering disebut sebagai kompetitor Bakrie. Surya Paloh adalah pemimpin Media Group, sebuah perusahaan yang memiliki stasiun televisi MetroTV dan Harian Media Indonesia. MetroTV dan TVOne merupakan stasiun televisi yang isinya lebih banyak menekankan pada aspek berita daripada hiburan. Tak heran, keduanya sering bersaing untuk mendapatkan dan melaporkan berita terbaru. Misalnya saja saat proses penangkapan Noordin M. Top di daerah Batu, Malang oleh Densus 88. Kedua stasiun televisi tersebut tampak terus “berkejar-kejaran” untuk mendapatkan informasi terbaru terkait proses penangkapan tersebut. Berita dan gambar yang ditayangkan pun hampir sama, dan kadang informasi yang didapatkan oleh keduanya hanya berselisih beberapa detik saja.
Perselisihan kedua stasiun televisi tersebut juga sempat diwarnai oleh persaingan pemilik mereka, yaitu Aburizal Bakrie dan Surya Paloh di kancah politik. Aburizal Bakrie dan Surya Paloh memang sempat bersaing memperebutkan jabatan ketua umum Partai Golkar, yang pada akhirnya dimenangkan oleh Aburizal Bakrie. Hal yang menarik untuk diamati disini adalah bagaimana kedua stasiun televisi tersebut turut mendukung untuk memenangkan pemiliknya masing-masing. MetroTV misalnya, ketika proses pemilihan dan kampanye masih berlangsung, stasiun televisi ini begitu gencar menayangkan masalah lumpur Lapindo yang belum terselesaikan dengan tuntas hingga kini, bahkan MetroTV beberapa kali menayangkan berita seputar kondisi korban lumpur Lapindo yang hidup serba tidak layak dan kekurangan. Nampaknya, MetroTV berusaha menampilkan citra yang kurang baik tentang sosok Bakrie, meski sebenarnya peristiwa Lapindo sendiri memang memiliki nilai berita yang pantas diberitakan. Sebaliknya, TVOne, dari awal munculnya peristiwa Lapindo, stasiun televisi ini terkesan tidak mau memberitakan secara detail dan menyeluruh tentang peristiwa ini. Berita yang ditayangkan hanyalah gambaran umum soal peristiwa tersebut, dan jika membahas tentang ganti rugi uang pun, TVOne seakan menekankan bahwa sebenarnya Bakrie telah mengucurkan dana besar sebagai ganti rugi yang pantas kepada para korban.
Kasus di atas menunjukkan bahwa media dapat menjadi alat bagi pemilik media untuk mendukung pemilik media itu sendiri dan untuk mendukung suatu kekuasaan politik tertentu. Sesuai dengan teori agenda setting, baik MetroTV dan TVOne sebagai media massa dapat menunjukkan mana isu yang penting untuk dipikirkan oleh khalayaknya. Media dapat menonjolkan isu-isu tertentu yang sebenarnya diwarnai dengan kepentingan masing-masing pemiliknya untuk memunculkan favourable public opinion, yakni opini publik yang mendukung kepentingan masing-masing pihak.
Dalam masa pemilu, melalui pembentukan opini publik, komunikasi politik berupa kampanye, diarahkan untuk mencari dukungan dalam wujud kerelaan masyarakat memilih partai politik pilihannya. Dalam kampanye tersebut, para aktor politik melakukan persuasi dan propaganda politik, termasuk kepada media massa supaya mau memuat hal-hal yang mempromosikan partai atau tokoh politik tertentu. (Hamad, 2004: 28)
Ketika kampanye itu melibatkan media massa, proses konstruksi realitas politik oleh media mulai memberikan dampak yang berbeda-beda tergantung pada cara setiap media melaporkan peristiwa politik. Orientasi apapun, baik ideologi, politik, maupun ekonomi, yang dimiliki sebuah media berpengaruh terhadap konstruksi realitas yang dibuatnya. Ini artinya, opini dan citra yang dibentuk juga akan berbeda-beda sesuai latar belakang masing-masing media. (Hamad, 2004: 29).
Setelah gagal terpilih sebagai ketua umum Partai Golkar, Surya Paloh sempat menggunakan MetroTV untuk mempromosikan Partai barunya, Partai Nasional Demokrat yang dibentuk bersama Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang kala itu masih berupa sebuah organisasi. Apalagi, pada awalnya munculnya, Nasional Demokrat menyebut dirinya sebagai restorasi Indonesia, yang berusaha memunculkan wacana bahwa Indonesia harus dibenahi. Beberapa kali MetroTV menayangkan rapat organisasi dan iklan organisasi Nasional Demokrat, yang tidak pernah ditayangkan di stasiun televisi manapun, karena saat itu Nasional Demokrat masih berupa organisasi baru yang belum dianggap penting untuk diangkat menjadi sebuah berita, kecuali oleh MetroTV. Baru setelah Nasional Demokrat resmi dijadikan partai politik, beberapa media sempat menayangkan iklannya, namun tetap saja yang paling sering menayangkannya adalah Metro TV, dan tentu saja iklan Partai Nasional Demokrat tidak pernah ditayangkan di TVOne.
Jika diamati dengan jelas, akhir-akhir ini Metro TV lebih banyak mengkritik kinerja pemerintah, baik dengan lebih sering menayangkan dan membesar-besarkan berita tentang ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam hukum dan pemerintahan Indonesia, maupun dengan komentar-komentar bernada kritik yang dikeluarkan oleh para presenternya.  Di sisi lain, iklan Nasional Demokrat semakin sering ditayangkan, pidato-pidato Surya Paloh ditayangkan dengan durasi lebih lama, daripada pidato presiden sekalipun. Nasional Demokrat digambarkan sebagai jalan keluar terbaik bagi bangsa Indonesia saat ini. 
Mengingat kedua tokoh pemilik media besar di Indonesia ini telah sama-sama memiliki partai politiknya masing-masing, bukan tidak mungkin jika keduanya maju sebagai calon presiden pada pemilihan presiden tahun 2014 mendatang, dan bukan tidak mungkin pula bila perang media antara MetroTV dan TVOne akan kembali berlanjut untuk mendukung pemiliknya masing-masing. Jika benar salah satu dari pemilik media tersebut menjadi pemimpin negeri ini, maka peran media yang dimilikinya harus ditinjau ulang, karena bisa jadi media tersebut akan bias, dan lebih memilih untuk memberitakan kebaikan dan keberhasilan si pemilik media saja, serta menjelek-jelekan lawan politiknya.
Liputan politik memiliki dimensi pembentukan opini publik, baik yang diharapkan oleh para politisi maupun oleh para wartawan. Terutama, oleh para aktor politik, berita politik diharapkan mempengaruhi sikap khalayak mengenai masalah yang dibicarakan si aktor. Para aktor politik menginginkan publik ikut terlibat dalam pembicaraan dan tindakan politik melalui pesan politik yang disampaikannya. Dalam komunikasi politik, aspek pembentukan opini ini memang menjadi tujuan utama, karena hal ini akan mempengaruhi pencapaian para aktor politik. (Hamad, 2004: 2)
Dalam kerangka pembentukan opini publik ini, media massa umumnya melakukan tiga kegiatan sekaligus. Pertama, menggunakan simbol-simbol politik. Kedua, melaksanakan strategi pengemasan media (framing strategies). Ketiga, melakukan fungsi agenda media (agenda setting function). Ketika melakukan ketiga hal itu, sebuah media dapat dipengaruhi oleh faktor internal, berupa kebijakan redaksional tertentu mengenai suatu kekuatan politik, kepentingan politik para pengelola media, relasi media dengan kekuatan politik tertentu, dan faktor eksternal seperti tekanan pasar pembaca atau pemirsa, sistem politik yang berlaku, dan kekuatan-kekuatan luar lainnya. Dengan kata lain, suatu peristiwa politik bisa menimbulkan opini publik yang berbeda-beda tergantung dari cara masing-masing media melaksanakan kegiatan tersebut. (Hamad, 2004: 3)
Bila dikaji dari teori spiral of silence, dalam proses kampanye pemilihan umum, media dapat menonjolkan opini tertentu dalam masyarakat, yang seringnya ialah opini mayoritas, yang dapat menekan opini minoritas. Misalnya saja, opini mayoritas masyarakat Bali yang dikenal memiliki banyak pendukung partai PDI Perjuangan. Jika media massa di Bali terus-menerus menampilkan opini mayoritas masyarakat Bali yang berpihak pada Partai PDIP, maka opini minoritas masyarakat Bali yang mungkin saja mendukung partai lain selain PDIP tidak akan tampak. Tekanan dari media yang terus-menerus menampilkan opini mayoritas tersebut juga dapat menyebabkan golongan minoritas pendukung partai lain akan memilih golput pada saat pemilihan umum, atau memilih untuk mengubah pilihannya sesuai dengan pilihan golongan mayoritas, yaitu memilih mendukung partai PDI Perjuangan.
Harsono Suwardi (dalam Hamad, 2004) menyatakan ada lima aspek yang membuat media massa menjadi aspek penting dalam kehidupan politik. Pertama, daya jangkaunya yang sangat luas dalam menyebarluaskan informasi politik, yang mampu melewati batas wilayah, umur, jenis kelamin, status ekonomi sosial, dan perbedaan paham dan orientasi. Dengan demikian, suatu masalah politik yang diberitakan menjadi perhatian bersama di berbagai tempat dan kalangan.
Kedua, media memiliki kemampuan melipatgandakan pesan yang luar biasa. Suatu peristiwa politik bisa dilipatgandakan pemberitaannya sesuai jumlah eksemplar koran, tabloid, dan majalah yang dicetak. Sehingga, pelipatgandaan ini juga dapat menimbulkan dampak yang besar pada masyarakat.
Ketiga, setiap media dapat mewacanakan peristiwa politik sesuai dengan pandangannya masing-masing. Kebijakan redaksional yang dimiliki menentukan penampilan isi peristiwa politik yang diberitakan. Justru karena kemampuan inilah media banyak diincar oleh pihak-pihak yang ingin menggunakannya, dan sebaliknya dijauhi oleh pihak yang tidak menyukainya.
Keempat, tentu saja dengan fungsi agenda setting yang dimilikinya, media memiliki kesempatan yang sangat luas untuk memberitakan peristiwa politik. Suatu peristiwa politik dapat ditampilkan atau tidak, bergantung kebijakan media masing-masing. Belum tentu berita politik yang menjadi agenda media merupakan agenda publik juga.
Kelima, pemberitaan peristiwa politik oleh satu media lazimnya berkaitan dengan media lainnya hingga membentuk rantai informasi. Hal ini akan menambah kekuatan tersendiri pada penyebaran informasi politik dan dampaknya kepada publik. Dengan adanya aspek ini, semakin kuatlah peran media dalam membentuk opini publik.

No comments:

Post a Comment