Monday 5 December 2011

desakralisasi seks


Berbicara tentang pergeseran nilai yang sedang terjadi di masyarakat Indonesia saat ini, khususnya desakralisasi, kelompok kami menyetujui bahwa di luar keinginan kami, desakralisasi itu telah terjadi di masyarakat. Nilai – nilai sakral agama dan budaya yang harusnya dijunjung tinggi oleh masyarakat kita, seakan telah terkikis habis dan dilupakan. Padahal, tanpa nilai – nilai luhur dari agama dan budaya nenek moyang kita, bangsa kita akan mengalami degradasi moral yang lama kelamaan jika dibiarkan tentu akan mengancam stabilitas nasional bangsa kita, karena bangsa kita tidak lagi punya nilai – nilai perekat yang mempersatukan kita sebagai bangsa Indonesia.
Banyaknya contoh dari dampak negatif desakralisasi yang kini melanda bangsa Indonesia membuat kami harus memilih untuk fokus pada satu permasalahan saja, dan kami memilih untuk membahas lebih dalam masalah seks. Seperti yang kita tahu, seks pada jaman dahulu sering dianggap tabu untuk dibicarakan, masyarakat Indonesia memiliki aturan yang cukup keras tentang seks, meskipun aturan itu tidak tertulis dan lebih sering disebut sebagai adat istiadat dari budaya timur kita, yaitu seks hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami istri yang telah menikah. Hal ini berbanding lurus dan sesuai dengan nilai – nilai agama yang kita anut. Memang tetap ada beberapa orang yang melanggar adat ini, seperti wanita yang ketahuan hamil di luar nikah, perselingkuhan, dan kumpul kebo. Memang perbuatan di atas bukan termasuk tindak kriminal, dan mereka yang melakukan juga tidak dapat didakwa hukuman penjara, tetapi mereka yang ketahuan melanggar akan mendapat sanksi moral dan sosial yang keras dari masyarakat setempat, mereka akan dikucilkan, dicemooh, dan bahkan tidak diterima lagi atau diusir dari lingkungan tempat tinggalnya. Seakan – akan ada suatu “stempel” yang terus melekat pada diri mereka, yang membuat mereka kesulitan untuk berbaur dengan masyarakat yang lain.
Tetapi itu dulu, beberapa tahun yang lalu, sebelum arus globalisasi dan modernisasi yang deras melanda bangsa kita. Sekarang lihatlah, kumpul kebo dianggap biasa, siswi hamil di luar nikah banyak bermunculan menjelang UNAS, sehingga sekolah harus merumuskan kebijakan baru terkait hal ini, lokalisasi menjadi bisnis menjanjikan, siswa SD tega memperkosa temannya sesama SD hingga hamil, dan 75% siswi SMP telah kehilangan keperawanannya, bahkan mau menjadi wanita panggilan. Sekarang patut rasanya kita mempertanyakan dimanakah moral bangsa kita? Dimana ajaran agama yang kita akui telah kita anut selama bertahun – tahun? Dimana nilai – nilai budaya timur bangsa kita yang dulu kita banggakan? Ironisnya, jika kita kaji lebih dalam tentang perilaku memprihatinkan di atas, sebagian besar korban dan pelaku adalah para generasi muda, calon pemimpin bangsa kita, yang seharusnya kita lindungi.
Modernisasi memang memiliki kaitan dengan lunturnya nilai – nilai luhur bangsa kita saat ini. Individualisme membuat seseorang hanya memikirkan dirinya sendiri. Mereka berpikir dapat berhubungan seks dengan siapa saja, yang penting happy, toh, itu adalah urusan pribadi mereka, mereka merasa dapat menanggung segala konsekuensinya, tidak ingin ada orang lain yang menasehati dan mencampuri. Masalah dosa, itu adalah urusan pribadi mereka dengan Tuhan. Masyarakat kita pun nampaknya mulai berpikiran sama, merasa itu bukan urusan mereka, ada urusan lain yang lebih penting ketimbang harus memperhatikan pasangan kumpul kebo atau siswi yang hamil di luar nikah. Hal inilah yang menyebabkan pergeseran nilai di tengah masyarakat, kumpul kebo dianggap wajar, berhubungan seks dengan pacar dianggap biasa sebagai bukti cinta, dan lain- lain. Budaya timur kita mulai diintervensi oleh budaya barat, sehingga masyarakat kita mulai terpengaruh dan bersikap kebarat-baratan, tidak lagi mau diikat oleh nilai tertentu. Asalkan kedua pihak merasa senang dan tidak dirugikan, maka tidak ada masalah.
Derasnya arus informasi dalam era globalisasi saat ini, mestinya menguntungkan bagi masyarakat, namun ternyata masyarakat Indonesia belum siap menghadapi semua itu. Media exposure atau terpaan media yang begitu kencang dapat menjadi racun bila tidak ada penyaring dari nilai – nilai agama dan budaya yang dapat menjadi kontrol tingkah laku dalam masyarakat. Internet dan televisi memegang peranan besar dalam hal ini. Televisi, sebagai sarana hiburan keluarga yang paling banyak digunakan, bila tidak ada kontrol atau dampingan orang tua, maka seorang anak dapat dengan mudah mempraktekkan tindak kekerasan yang ia lihat di televisi, seperti yang terjadi beberapa tahun yang lalu, dimana tayangan “Smack Down” sampai dapat merengut jiwa beberapa anak kecil. Dengan internet, semua hal bisa diakses dengan mudah, mulai dari yang positif sampai yang paling negatif sekalipun. Termasuk dalam hal ini adalah pornografi yang belum sepantasnya dikonsumsi untuk anak – anak, rasa penasaran ditambah kurangnya penjelasan tentang seks dari orang tua yang mungkin terlalu sibuk, atau mungkin karena seks dianggap masalah yang tabu untuk dibicarakan sehingga banyak orang tua merasa ragu untuk menjelaskannya dan tidak tahu kapan waktu yang tepat, sering mereka terlambat menjelaskannya, sehingga anak – anak yang memang memiliki rasa ingin tahu yang besar sudah lebih dahulu mencari tahu lewat media lain, seperti internet, atau bahkan sudah mempraktekannya pada teman mereka sendiri yang sama – sama penasaran. Muncul istilah pergaulan bebas dan free sex, istilah yang dahulu hanya kita kenal di negara – negara Barat. Hal ini benar – benar menjadi ancaman nasional bagi bangsa kita.
Namun, jika demikian, pantaskah kita hanya menyalahkan media dan globalisasi itu sendiri? Globalisasi, seperti namanya, adalah suatu proses yang global, mendunia, dan dialamai oleh semua bangsa di dunia ini, tidak hanya bangsa Indonesia. Jadi bisa dikatakan bahwa globalisasi merupakan proses yang tidak bisa dihindari dan proses yang harus dihadapi oleh setiap bangsa di seluruh dunia. Jadi, kurang bijak rasanya jika kita hanya berpangku tangan dan menyalahkan globalisasi. Jika demikian, strategi apakah yang harus kita pakai untuk menghadapi permasalahan yang tengah mengancam generasi penerus bangsa kita ini? Ada pendapat yang mengatakan bahwa kegagalan seorang anak adalah bentuk kegagalan orang tua juga. Kami rasa ungkapan itu ada benarnya juga. Orang tua, dalam hal ini memang pihak yang paling bertanggung jawab untuk membimbing anak – anaknya agar tidak terjerumus dalam hal yang salah. Pertama, orang tua harus menanamkan nilai – nilai agama dan budaya dengan sangat kuat pada anak sejak dini. Dengan demikian, anak akan memiliki fondasi dan prinsip dasar yang kuat yang dapat menjadi filter dari informasi apa yang ia tangkap sehari – hari, baik dari teman – temannya, maupun media di sekelilingnya. Anak tersebut juga tidak akan gampang terpengaruh oleh hal – hal yang ia tahu bertentangan dengan nilai – nilai luhur yang telah diajarkan oleh orang tuanya. Walaupun demikian, penanaman nilai – nilai ini bukan perkara gampang, para orang tua harus memiliki metode khusus untuk dapat membuat anak – anaknya terus mengingat dan mempraktekkan nilai – nilai tersebut di tengah masyarakat. Kedua, setelah penanaman nilai – nilai di atas pada anak, bukan berarti tugas orang tua selesai begitu saja. Orang tua masih harus, mengontrol, mendampingi, dan aktif memberi penjelasan pada anak bila anak melihat hal – hal yang belum mereka ketahui sebelumnya. Hal ini karena hal - hal yang terjadi di masyarakat bersifat dinamis, terus berkembang, sehingga kadang ada hal – hal tak terduga yang muncul di tengah masyarakat dan bisa saja memiliki pengaruh negatif, di sinilah peran orang tua harus aktif mencari info tentang fenomena apa yang terjadi di tengah masyarakat, contohnya, fenomena Facebook dan segera menjelaskannya pada anak secara terbuka. Intinya, orang tua harus tahu lebih dahulu daripada anak, dan anak sebisa mungkin mengetahuinya lebih dahulu dari orang tua, sehingga orang tua dapat memaparkan lebih jauh mengenai dampak – dampaknya serta sekaligus memberikan nasehat tentang apa yang harus dilakukan sang anak. Hal ini penting karena di usia remaja, rasa ingin tahu seorang anak bertambah besar,dan jika dia tidak mendapatkan pengetahuan dari satu pihak, maka ia akan mencari pengetahuan itu dari pihak lain, bahkan karena rasa penasaran itulah, ia akan mencobanya tanpa tahu apa konsekuensi yang harus diterimanya. Ketiga, para orang tua harus selalu ingat untuk memelihara kedekatan emosional dengan anak – anak mereka. Sering, ketika beranjak remaja, anak tersebut merasa lebih nyaman untuk bercerita masalah pribadinya dengan teman – teman sebayanya yang dianggap lebih mengerti persoalan remaja. Hal ini tidak menjadi masalah jika teman – temannya tersebut adalah teman – teman yang baik, saling mendukung, dan menguatkan. Tetapi tentu menjadi masalah ketika anak tersebut memiliki teman – teman dengan tabiat yang kurang baik dan dapat menjerumuskan. Karena itu, penting bagi setiap orang tua untuk senantiasa mengikuti perkembangan jaman, membuang jauh – jauh pikiran yang sudah kuno dan tidak relevan dengan jaman sekarang, karena jaman telah berubah, sehingga anak tidak akan merasa canggung ketika ingin berdiskusi dengan orang tua, karena menganggap orang tuanya kolot dan tidak akan mengerti masalah remaja saat kini yang lebih kompleks, padahal orang tua kita sudah banyak mengalami asam garam dunia dan memiliki banyak pengalaman. Orang tua adalah orang yang begitu menyayangi kita dan tidak mungkin menjerumuskan kita ke dalam hal yang salah. Jadi apa salahnya curhat dengan orang tua kita sendiri? Kesalahan yang sering banyak dilakukan oleh para orang tua adalah mereka sering menganggap bahwa anak remaja mereka adalah anak yang masih kecil dan tidak tahu apa – apa, sehingga banyak orang tua menolak untuk mendiskusikan hal – hal yang terlalu berat dan dewasa. Orang tua sering menutup diri terhadap diskusi terbuka, mereka hanya menjelaskan hal – hal yang umum saja, bila sang anak ingin bertanya lebih jauh, mereka pasti menolak dan beralasan bahwa si anak belum cukup umur dan pasti tidak dapat mengerti. Sering sekali kasus di atas terjadi, karena dari pihak orang tua sendiri yang menolak untuk diajak berdiskusi. Akibatnya, sang anak yang tidak puas dengan penjelasan orang tua, ujung – ujungnya akan kembali mencari jawaban yang memuaskan dari sumber lain yang belum tentu terpercaya.
Kesimpulannya, derasnya arus globalisasi memang tidak dapat dihindari. Namun, bukan berarti hal tersebut tidak dapat dikontrol. Pemegang kendali tetap ada di kita. Hendaknya, hal – hal negatif dari desakralisasi yang kini sedang mewabah di masyarakat, terutama seks bebas, dapat menjadi pelajaran bagi masing – masing kita, terutama para orang tua untuk dapat mempersiapkan diri menghadapi tantangan jaman yang terus berubah.

No comments:

Post a Comment