Wednesday 7 December 2011

Latar Belakang Pemilu dan Media Massa

Kehidupan masyarakat modern tidak dapat dilepaskan dari peran media massa. Media massa kini telah menjelma menjadi sebuah kekuatan yang mampu menggerakkan audiensnya untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Peran media massa yang tidak dapat dipandang remeh ini terjadi di segala bidang kehidupan bermasyarakat, termasuk di bidang politik. Menurut Brian McNair (McNair, 1995), fungsi media massa dalam komunikasi politik bisa menjadi penyampai pesan-pesan politik bagi pihak-pihak di luar media, sekaligus menjadi pengirim pesan politik yang dibuat oleh para wartawan kepada audiens. Jadi, bagi para aktor politik media massa dipakai untuk menyampaikan pesan-pesan politik mereka kepada para khalayak, sementara untuk para wartawan, media massa adalah wadah untuk memproduksi pesan-pesan politik karena peristiwa-peristiwa politik itu memiliki nilai berita.
Konglomerasi kepemilikan media juga menjadi salah satu faktor yang membuat media massa tidak dapat dilepaskan dari kehidupan politik, dimana banyak ditemukan kasus pemilik media yang ternyata juga memiliki kepentingan politis tertentu. Di Indonesia sendiri terdapat dua nama besar di dunia media massa, yang diketahui juga memiliki kedudukan di bidang politik, yaitu Surya Paloh, pemilik stasiun televisi Metro TV dan Harian Media Indonesia, yang juga merupakan salah satu pendiri partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Aburizal Bakrie, ketua umum partai Golkar yang juga memiliki bisnis media, yaitu stasiun televisi TVOne, Antv, dan ArekTV. Di kancah internasional, nama Rupert Murdoch tentu juga sudah tidak asing. Pemilik perusahaan media News Corporation itu juga dikenal dekat dengan Tony Blair, yang ketika itu menjabat sebagai perdana menteri Inggris. Bahkan, The Sun, surat kabar berbahasa Inggris terlaris di dunia yang diproduksi oleh perusahaan Murdoch, pernah memasang judul headline yang berbunyi, “The Sun Backs Blair”. The Sun juga berusaha mempersuasi pembacanya agar turut mendukung Blair dengan memasang tulisan sub-judul di bawahnya yang bertuliskan “Give change a chance”(Giddens, 2006 : 627).
Keterlibatan media massa dengan dunia politik seperti yang terjadi pada contoh kasus di atas memang sudah dianggap sebagai hal yang lazim. Namun, media massa tetap memiliki kewajiban untuk bersikap obyektif. Jurnalis harus bebas dari kepentingan apapun dalam melaporkan berita dan dapat bersikap sebagai pengawas yang independen terhadap kekuasaan (Kovach dan Rosenstiel, 2001). Namun sayang pada prakteknya, pemilik media sering dengan sadar atau tidak sadar memanfaatkan medianya untuk mendukung kekuatan politik tertentu.
Indonesia merupakan negara yang menganut paham demokrasi, dimana pemimpin mendapatkan legitimasi kekuasaannya melalui pemilihan umum. Demokrasi di Indonesia berbentuk demokrasi perwakilan. Ini artinya, rakyat sebagai pemilih mengalihkan hak mereka untuk membuat keputusan politik kepada wakil yang dipilih melalui pemilihan umum secara berkala dalam periode waktu yang terbatas. Disinilah terletak peran sentral media massa yang dapat mempengaruhi pilihan rakyat dalam pemilu. Media massa dapat membentuk dan mempengaruhi opini publik saat pemilihan umum (Rainer, 2000: 9). Media dapat bersikap mendukung atau bahkan mengkritik dan menghujat tokoh atau partai politik tertentu. Padahal seperti yang kita tahu, beberapa media besar di Indonesia dimiliki oleh tokoh-tokoh yang berkiprah di dunia politik dan pemerintahan. Hal ini dapat membuat media menjadi bias dalam memberitakan berita atau kampanye politik dalam pemilihan umum. Isu-isu politik yang ditampilkan di media massa dapat memiliki kepentingan politis tertentu yang belum tentu sesuai dengan keadaan sebenarnya, dan isu-isu tersebut dapat menggiring opini publik sebagai konsumen media dalam pemilihan umum, hingga dapat memengaruhi hasil dari pemilihan umum itu sendiri.

No comments:

Post a Comment