Saturday 4 March 2017

The Privilege of Being "Anak Kos"

Saya tidak menyangka akan menulis tentang hal ini dua tahun yang lalu. Rasanya baru kemarin saya keliling kompleks dan keluar masuk gang untuk mencari kamar kos yang senyaman mungkin. Dasar baru pertama kali ngekos, setiap kamar kos yang saya kunjungi rasanya selalu aja ada yang kurang, mungkin karena perbandingannya adalah kamar saya di rumah yang sudah saya tinggali selama 10 tahun lebih.

Masih teringat jelas susahnya pindahan, susahnya nyari lokasi di kamar yang kenceng sinyalnya, betenya kalau shower tiba-tiba mampet, sedihnya kalau pas hujan dan lagi ngga nyimpen makanan di kos, keselnya kalau baju cucian kita ketuker sama kamar sebelah, dan banyak alasan yang bikin saya mempertanyakan keputusan saya untuk tinggal jauh dari orang tua, jadi anak rantau, dan jadi anak kos.

But now when I look back on those moments, there are more reasons I am grateful to be "anak kos". 
Jadi anak kos bikin saya akrab sama temen-temen saya sesama MT yang ngekos juga, karena pulang kantor kami biasanya makan malam bareng, olahraga bareng, bahkan belajar bareng buat kuis. Saya sering ngebayangin seandainya saya ngga nge-kos, after office langsung pulang, pulang malem dikit ditanyain orang rumah, dan karena pada dasarnya saya anaknya introvert, dijamin saya akan makin lama adaptasi sama temen-temen kantor.

Jadi anak kos bikin saya tau hal-hal di luar zona nyaman saya, hal-hal yang mungkin kalau orang tua saya tau saya kemana dan ngapain aja, pasti sebisa mungkin dilarang. But again, jadi anak kos melatih saya untuk dewasa, untuk bisa ambil pertimbangan dan keputusan buat diri sendiri, termasuk untuk bisa jaga diri. Keputusan untuk hal-hal kecil dan simpel, as simple as deciding what to eat today, sekarang saya harus putuskan sendiri. Dalam mengambil keputusan itu, ngga jarang saya salah, nyesel, dan khilaf. Tapi disitulah saya belajar. Bahwa setiap keputusan yang saya ambil, sekecil apapun itu, ada konsekuensi-nya. Supaya ngga salah lagi untuk kedua kalinya dan untuk mencegah saya salah ambil keputusan, saya harus belajar. This is the survival rule of being "Anak Kos".

Setelah saya belajar jadi anak kos, yang dulunya saya apatis banget soal harga belanja di supermarket, jadi harus inget dikit-dikit harga barang yang saya beli. Saya tahu kalau beli tissue di supermarket A lebih mahal, daripada di Supermarket B. Saya tahu kalau beli deterjen yang warna pink atau biru, dan lain-lain. Hal-hal yang saya yakin kalau saya ngga merantau jauh dari orang tua, I would less likely know that.

Jadi anak kos juga melatih saya untuk bertanggung jawab, kalau teledor atau ceroboh lalu barang ada yang hilang/ ketinggalan, harus bisa ngurus sendiri, repot sendiri, dan sedih sendiri (malu kalau cerita ke orang rumah, yang ada malah dimarahin). Udah jadi rahasia umum juga, kalau jadi anak kos juga artinya belajar mandiri, apalagi yang udah berpenghasilan. Jadi kalau di akhir bulan duit menipis karena kebanyakan hedon, juga harus tanggung jawab untuk ngirit entah gimana caranya bisa bertahan sampai hari gajian tanpa minta ke orang tua. Intinya, saya ngga nyangka jadi anak kos benefitnya banyak juga, mulai dari yang duniawi, jasmani, dan rohani.

Walaupun kadang masih merindukan kehangatan dan nyamannya tinggal di rumah sendiri, tapi saya ngga nyesel memilih untuk menjadi anak rantau. Because once in your lifetime, you have to try to get out of your comfort zone. No matter how comfortable that is. That is the only way you know how capable you are to conquer the outside world. Kalau saya ngga merantau ke Jakarta, saya ngga akan tahu kalau saya bisa survive sampai sejauh ini, kalau saya yang dulunya cuek dan apatis ini bisa kerja di bidang HR yang people-oriented, kalau saya yang sering remidi ulangan matematika ini bisa mengolah data statistik yang cukup rumit as part of my job description, kalau saya yang paling ngantuk saat pelajaran komputer ini bisa bikin coding macro visual basic untuk sebuah aplikasi. The point is, you will never know what you are capable of until you're being pushed to do it.

Jadi, ketika sekarang saya merasa menemukan kembali zona nyaman saya, saya tahu sekaranglah saat saya bertanya kembali pada diri saya, apakah saya mau tetap tinggal di zona nyaman ini, atau kembali mencari kesempatan dan tantangan untuk bisa membuktikan diri saya? Bukan keputusan yang mudah memang ketika kita mau ambil resiko untuk keluar dari zona nyaman, tetapi saya lebih takut menyesal ketika saya melewatkan kesempatan di usia saya yang sekarang ini, because they say, we should be making many mistakes while we are young. 

Back to our topic, selamat buat temen-temen yang punya kesempatan merantau jauh dari orang tua dan jadi anak kos, I know it is hard at first, but it will get easier somehow. I am proud to be "Anak Kos" and you should be :)

4 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Being "anak kos" is awesome!!
    Yes i agree if you say learn to be independent. But remember take care of yourself.
    Semua ada masanya, jangan sampai ada yang terlewatkan dan baru sadar jika sudah tua dan bilang "kok hidup gue gini-gini aja ya" :D
    Comfort zone is fun, like a deep sleep and and got a beautiful dream. And when you wake up, you were called papaaaa mamaaaa, even you were called opaaa omaaa. Haha.
    Nah jadi sejak dini harus sadar ya, kalau yang kamu lakukan sekarang rasanya sudah gini-gini ajaaa, ayo segera berpikir dan ambil keputusan harus langkahkan kaki di jalan yang mana, jalan kiri lurus kanan? God always leads you in a good way!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yess. Memang butuh tekad dan keberanian buat milih jalan yang mana, thanks for sharing your thoughts anyway!

      Delete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete