Saya pernah mendengar sebuah ungkapan “Tuhan bekerja dengan cara yang misterius”. Saya setuju sekali dengan ungkapan tersebut. Saya merasa cara Tuhan bekerja memang tidak mudah dipahami oleh kita, manusia. Manusia sering merasa bingung, marah, dan kecewa dengan rencana dan perbuatan Tuhan dalam hidupnya, termasuk saya. Memang, sekali lagi, saya setuju dengan ungkapan “manusia boleh merencanakan, tetapi Tuhan-lah yang menentukan.” Saya rasa kita semua tidak akan pernah memahami bagaimana Tuhan bekerja dengan indah dalam hidup kita.
Pada dua tahun pertama saya di bangku SMP, saya selalu masuk di kelas unggulan, yang memang ditujukan untuk anak-anak dengan nilai di atas rata-rata. Di sinilah saya belajar berkompetisi dengan teman-teman sekelas saya. Meski nilai saya pas-pasan, karena soal yang diberikan memang jauh lebih sulit dibandingkan kelas lain, namun saya menikmatinya. Kelas saya itu sangat disiplin dan saat ujian pun, saya melihat tidak ada seorang pun di antara kami yang menyontek. Namun, karena beberapa pertimbangan, di tahun ketiga saya di SMP, kelas unggulan ditiadakan. Saya merasa sangat terkejut dan kehilangan teman-teman saya, karena telah dua tahun saya berteman teman-teman yang sama, dan tiba-tiba kami harus berpisah.
Saya merasa sangat sedih ketika saya menyadari bahwa di kelas saya yang baru itu, saya tidak memiliki teman. Saya pun bertambah kecewa ketika saya melihat bahwa banyak di antara teman-teman sekelas saya yang menyontek. Saya juga tidak suka dengan teman-teman baru saya yang berpakaian tidak rapi dan sering ramai di kelas. Saat itu saya benci sekali dengan kelas baru saya, mungkin lantaran saya tidak terbiasa melihat hal-hal semacam itu di kelas saya yang lama. Namun, lambat laun, saya menemukan sesuatu yang indah yang tidak saya temukan di kelas saya yang lama, yaitu kekompakkan. Di kelas saya yang baru ini, solidaritas antar murid begitu tinggi. Pandangan saya mulai berubah, ketika saya melihat antusiasme teman-teman saya menyambut acara lomba di sekolah saat 17 Agustus. Kami bersama-sama menghias dan membersihkan kelas serta mendiskusikan siapa saja yang pantas dan ingin mengikuti lomba. Kekompakkan yang sungguh luar biasa itu mengantarkan kelas kami menjadi juara umum dalam lomba tersebut. Kini saya tahu mengapa kelas unggulan saya jarang memenangkan lomba semacam itu, itu karena kami terlalu individualis dan sibuk dengan urusan masing-masing. Saya mulai bisa beradaptasi dengan kelas baru saya dan pada akhirnya saya pun dapat memiliki banyak teman di kelas. Jika biasanya di kelas unggulan saya hanya bisa bersahabat dekat dengan satu atau dua orang, di kelas baru itu saya membentuk semacam geng dengan 8 orang sekaligus. Saat kelulusan, saya bertambah bangga, karena kelas saya itu dinobatkan sebagai kelas terbaik di antara kelas-kelas tahun ketiga yang lain.
Pengalaman kedua yang serupa terjadi belum begitu lama, yakni ketika saya menjalani masa-masa ujian nasional di kelas 3 SMA. Saat itu saya berkomitmen untuk tidak membeli kunci jawaban atau menyontek, walaupun banyak teman-teman saya yang berbuat demikian. Saya memilih belajar semalaman, bahkan menyicil bahan ujian berbulan-bulan sebelumnya. Namun, hal yang terjadi sungguh di luar dugaan saya. Banyak kunci jawaban ilegal yang hasilnya benar, bahkan ada teman saya yang mendapatkan soal ujian dari guru lesnya atau lembaga bimbingan tertentu. Saya kecewa dengan Tuhan, pemerintah, dan dengan diri saya sendiri. Mengapa Tuhan membiarkan teman saya yang tidak belajar sedikitpun memperoleh hasil yang lebih baik daripada saya yang belajar dengan keras? Sempat saya berpikir, mengapa saya tidak ikut memegang saja kunci jawaban dan menggunakannya hanya pada soal-soal yang sulit. Toh, teman-teman saya yang peringkatnya di atas saya, juga memegang kunci jawaban. Namun, berkat semangat dari sahabat-sahabat saya, kami berusaha untuk melewati ujian nasional dengan jujur dan percaya akan kuasa Tuhan.
Saat hari perayaan kelulusan tiba, saya dan teman-teman belum mengetahui nilai kami, kami hanya mendapat informasi siapa saja yang lulus dan tidak lulus. Saya sudah pasrah dengan nilai saya, karena saya teringat bahwa saya sempat mengarang sepuluh nomor jawaban saya saat ujian nasional matematika, karena waktu yang terbatas. Ternyata rencana Tuhan sungguh luar biasa indah, saat guru saya mengumumkan nilai terbaik di kelas saya untuk ujian nasional dan ujian sekolah, nama sayalah yang disebut. Saya sempat tidak percaya dan gemetaran saat berjalan menuju panggung dan menerima piala dari kepala sekolah. Bagi saya, itu merupakan hadiah terindah dari Tuhan sekaligus pembuktian bahwa Tuhan tidak menyia-nyiakan kerja keras saya. Saya sedikit merasa malu dan bersalah karena sebelumnya saya sempat kecewa pada Tuhan dan tidak percaya kepada-Nya. Kini saya berjanji tidak akan pernah meragukan sedikitpun kasih Tuhan pada saya.
Sering saya merencanakan sesuatu dalam hidup saya dengan sempurna dan saya anggap rencana itu adalah yang terbaik untuk saya, namun Tuhan seolah-olah tidak setuju dengan rencana saya itu dan menggagalkannya. Padahal saya tidak merencanakan sesuatu yang buruk atau jahat pada diri saya atau orang lain. Tetapi, pada akhirnya saya selalu menyadari bahwa rencana Tuhan jauh lebih indah dari rencana saya. Saya, yang pada awalnya kecewa dengan rencana Tuhan itu, kini malah sangat bersyukur karena saya bisa mendapatkan hal-hal yang tidak mungkin saya peroleh jika saya tetap “diperbolehkan” menjalankan rencana saya sendiri. Tidak hanya sekali atau dua kali saya mengalami hal ini, sehingga kini saya sampai pada suatu pemikiran, yaitu percaya dan pasrah akan rencana Tuhan dalam hidup saya, karena saya yakin memang itu yang terbaik.
No comments:
Post a Comment